Selasa, 10 Juli 2012

Rok Mini di Gedung Parlemen

Belakangan soal rok mini masuk dalam kosa kata politik nasional. Penyebabnya adalah komentar Ketua DPR Marzuki Alie yang mengimbau para anggota DPR dan staf tidak menggunakan rok mini atau pakaian seksi lainnya. Salah satu alasannya, kata Marzuki, agar tidak terjadi kasus perkosaan.




Membaca berita tersebut, sebagai rakyat saya tentu gembira. Itu sesuatu yang positif, kan?. Bayangkan, seorang ketua DPR yang biasanya dikelilingi urusan-urusan berat, masih sempat-sempatnya ikut mengurus soal rok. Yups, rok! Selembar kain yang oleh kebudayaan manusia dibuat sedemikian rupa hingga mampu menjadikan perempuan yang menggunakannya terlihat lebih menarik.
Bentuknya mirip kain sarung, dijahit ketat di bagian pinggul dengan ukuran pendek dan memiliki resleting. Resletingnya bisa di belakang, bisa juga disamping. Guna resleting –saya rasa Anda semua sudah tahu– mirip seperti pintu atau jendela, sebagai sarana buka dan tutup. Mungkin dalam sejarah, baru kali ini ada ketua DPR begitu perhatian dengan soal rok.
Kegembiraan kedua adalah alasan bahwa dengan memakai rok mini, akan berakibat pada terjadinya perkosaan. Ini sungguh sangat menggembirakan. Marzuki seperti ingin memberikan batasan yang jelas bahwa anggota DPR kita bukan supir angkot tembakan jahat yang suka main perkosa penumpangnya.
Jadi agar kelakuan anggota DPR tidak menjadi seperti supir angkot jahat maka himbauan tidak menggunakan rok mini itu dikeluarkan. Meskipun kita tidak tahu berapa banyak korban perkosaan –yang pada saat musibah itu menimpa– saat itu sedang menggenakan rok mini.
Saya tentu takjub dengan lontaran ide tersebut dan mengira-ngira dari mana asal ilham brilian yang ujug-ujug datang ke pemikiran Marzuki. Kenapa sampai ada pemikiran melarang orang menggunakan rok mini, dan dikait-kaitkan dengan perkosaan segala.
Ukuran rok termasuk mini atau tidak, tentu bisa diperdebatan para pakar mode dan etika. Apakah rok selutut termasuk mini? Atau ukurannya lima senti di atas lutut? Atau 20 senti? Atau yang dilarang itu adalah rok yang ukurannya 60 senti di atas lutut? Selain itu soal seksi atau tidaknya, bukan terletak pada objek, tetapi lebih pada persepsi orang yang melihatnya.
Yang jelas bila seorang ketua DPR sampai harus menghimbau-himbau, berarti ada persoalan serius mengenai keminian rok yang banyak digunakan orang di gedung parlemen. Soal perempuan menggenakan rok ketat dan sedikit naik di atas lutut kita tentu gampang menemukan di banyak gedung perkantoran lain. Indonesia toh bangsa modern, yang pengaruh mode dan fashion juga ikut terbawa kemana-mana. Dari banyak gedung perkantoran yang bertebaran di Jakarta dan banyaknya perempuan menggunakan rok kerja ketat dan seksi, kasus perkosaan toh, tidak terjadi di ruang-ruang perkantoran seperi itu.
Artinya jika gedung parlemen dianggap sebagai kantor tempat bekerja, dan banyak orang menggunakan pakaian seperti layaknya karyawan di gedung perkantoran lain, tentu ini masalah yang biasa. Saya yakin, ketua DPR kita tidak terlalu ndeso untuk repot-repot mengurus soal pakaian yang biasa digunakan para wanita karir tersebut.
Tapi kenapa harus ada himbauan seperti itu dari seorang ketua DPR? Jangan-jangan keresahan itu disebabkan karena mulai ada satu-dua anggota dewan pria yang menghadiri sidang dengan menggunakan rok mini! Ini jelas-jelas melanggar etika dan kepantasan! Saya tidak mau membayangkan, apakah suara mereka juga berubah saat hendak interupsi atau memberikan pendapat saat rapat kerja berlangsung? Apalagi jika rok yang digunakan sedemikian mininya. Sungguh, saya tidak mau membayangkan pemandangan seperti itu di sidang-sidang parlemen kita.
Kalau memang begitu kasusnya, saya setuju dengan gagasan Marzuki Alie. “Larang semua anggota dewan pria untuk memakai rok mini di gedung parlemen!. Jika ada yang melanggar, pecat!”
Wanita Telanjang Di Jalan Untuk Cari Calon Suami>>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar